aceh-tanpa-syiah
Oleh: Ridwan Kalam
Ibarat bom waktu yang siap meledak ketika saatnya tiba. Itulah perumpamaan keberadaan Syi’ah di Indonesia. Setelah membuat kekacauan di Sampang Madura (Jawa Timur), kini aktivitas gerilya mereka mulai merambah ke Aceh. Walau tidak seheboh yang terjadi di Sampang, aktivitas penganut (agama) Syi’ah mulai menunjukkan “taring” sebagai bentuk keberadaan mereka di Aceh. Tindak-tanduk kegiatan Syi’ah di Aceh dicurigai dilakukan oleh alumni universitas di Qom (kota suci Syi’ah di Iran) yang bernama Affan Ramli. Pria ini telah beberapa kali mengkritik pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh yang disebutnya “cacat” semenjak proses kelahirannya (http://theglobejournal.com/hukum/affan-ramli-lahirnya-syariat-islam-di-aceh-cacat/index.php).
Kali ini, Affan Ramli mulai berani “terang-terangan” mengkritisi pelaksanaan Syari’at Islam dengan mengatakannya sebagai ’biang keladi’ intoleransi di Aceh yang ia sebar ke media. Melalui LSM Komunitas Aceh untuk Kebebasan Berkeyakinan dan Beragama (KAYA) dimana dia juga bertindak sebagai juru bicara, Affan Ramli mengatakan bahwa Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh telah “sembarangan” mengeluarkan fatwa yang menyebabkan penyerangan terhadap golongan yang disebut oleh Affan Ramli (AR) sebagai kelompok minoritas.
Perilaku akibat salah  jep ubat (salah minum obat) AR dikhawatirkan akan semakin membuncah  bila tidak ditanggapi oleh kalangan masyarakat di Aceh. Tak lama setelah AR menebar informasinya ke media, melalui Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA), Teungku Faisal Ali yang juga merupakan Sekjen di Organisasi Ulama Dayah Aceh itu mengecam pernyataan yang disampaikan oleh AR ke media. Teungku Faisal mengatakan bahwa apa yang disampaikan oleh AR tak akurat dan terkesan mengada-ada. Ini tak lain disebabkan AR menyampaikan informasi ke media secara sepenggal-sepenggal, tidak utuh. AR sebut Teungku Faisal tidak menyebutkan runut peristiwa secara lengkap tentang apa yang sesungguhnya terjadi di Aceh. Untuk itu HUDA sebagai salah satu wadah Ulama dayah Aceh berhimpun, ingin memberikan klarifikasi kepada media terkait pemberitaan kondisi di Aceh. Teungku Faisal mengatakan kepada media bahwa bukan intoleransi yang meningkat di Aceh. Tapi, justru pendangkalan aqidah dan penodaan agama yang sebenarnya naik signifikan pasca tsunami. Ia menyayangkan sikap sepihak AR yang menebar informasi tidak akurat ke media.
Apa yang disampaikan oleh Teungku Faisal memang sangat diperlukan agar tak menjadi bola panas yang bergulir secara liar. Intoleransi yang dikabarkan oleh AR telah berada pada tingkat yang “mengkhawatirkan”  ternyata hanya isapan jempol belaka. Itu tak lain karena dikalangan non-muslim sendiri ada yang tidak sependapat dengan AR. Baron Ferison Pandiangan, Pembina Masyarakat  Katolik,  malah merasa menjadi Katolik sejati selama berada di Aceh. “Menyikapi tentang kerukunan umat beragama, saya melihat, setelah saya di Aceh dua tahun lebih, saya merasa menjadi katolik yang lebih baik,” ungkap Baron saat Coffee Morning di Aula Kanwil Kemenag Aceh. Baron juga mengutarakan dukungannya terhadap penerapan Syari’at Islam di Aceh, alasannya kalau Syari’at Islam dapat ditegakkan, Aceh akan selalu damai. “Sungguh sangat luar biasa kalau benar-benar ditegakkan, karena hampir sama dengan yang kita perjuangan. Kami katolik, di Aceh sangat dilindungi,” tandasnya. (http://theglobejournal.com/sosial/pembimas-khatolik-merasakan-kedamaian-selama-di-aceh/index.php).
Keinginan misionaris Syi’ah dengan membonceng kelompok liberal untuk melancarkan tujuan terselubungnya bukanlah hal baru. Keduanya kerap seiring sejalan dalam membuat “sensasi” untuk membuat kekacauan ditengah-tengah masyarakat yang mayoritasnya memiliki keyakinan Islam yang kuat. Tak hanya itu, mereka juga “konsisten” menganggu kestabilan Negara yang dianggap bersebrangan politik dengan Syi’ah, seperti Negara-negara teluk dan Negara lainnya yang penduduk mayoritasnya adalah penganut agama Islam yang berpedoman pada AlQuran dan As-Sunnah (Hadits). Melalui pembentukan opini di media, Syi’ah ingin mengokohkan keberadaannya. Salah satunya ber-taqiyyah (pura-pura) menjadi media Islam (http://www.arrahmah.com/read/2012/02/11/17995-gerilya-misionaris-syiah-di-bidang-media.html).
Oleh karena itu, kewaspadaan terhadap gerilya misionaris (agama) Syi’ah rafidhah di Aceh sangatlah penting. Supaya potensi kekacauan yang akan ditimbulkan nantinya dapat diredam sedini mungkin sebelum meletusnya kerusuhan yang berujung pada jatuhnya korban jiwa dalam masyarakat akibat kegiatan Syi’ahnisasi yang mereka lakukan seperti di Sampang, Madura. []
Axact

Axact

Vestibulum bibendum felis sit amet dolor auctor molestie. In dignissim eget nibh id dapibus. Fusce et suscipit orci. Aliquam sit amet urna lorem. Duis eu imperdiet nunc, non imperdiet libero.

Post A Comment:

0 comments: